
INDODEFENSEREVIEW – Ketika anak-anak kita tenggelam dalam dunia virtual, mengenakan headset, dan fokus pada layar gadget mereka, banyak orang tua merasa lega. Kehadiran mereka di dalam rumah, jauh dari potensi bahaya jalanan, sering kali diartikan sebagai zona aman. Namun, di balik ketenangan semu tersebut, tersembunyi sebuah ancaman serius. Dilansir dari Kanal Youtube INSS SIGHT Channel, Menurut Stepi Anriani dalam penjelasannya, radikalisme di era sekarang masuk melalui game online, di mana perekrut terorisme digital menyamarkan ideologi kekerasan dalam format permainan.
Isu ini bukan lagi sekadar teori. Fenomena radikalisasi daring ini telah menjadi perhatian publik, terutama setelah munculnya kasus-kasus yang melibatkan anak di bawah umur, menunjukkan betapa rentannya generasi muda kita terhadap paparan ideologi kekerasan yang didistribusikan melalui media digital.
Memanfaatkan Keterasingan Digital
Para pelaku teror telah menemukan celah baru untuk menyebarkan paham mereka. Mereka menggunakan media digital, khususnya fitur-fitur interaktif dalam game online, sebagai alat radikalisasi yang efektif. Ini bekerja karena beberapa faktor:
- Faktor Usia dan Psikologi: Anak-anak di bawah 12 tahun, atau yang dikenal sebagai Gen Alfa, sangat rentan. Fitur game yang menawarkan hadiah, peningkatan level, dan narasi kekerasan seringkali dianggap sebagai hal yang menantang dan membuat mereka merasa kuat, meski hanya di dunia virtual.
- Solusi Kesendirian: Di tengah derasnya arus informasi dan teknologi, banyak anak yang merasa kesepian atau terasing. Game online menjadi solusi instan bagi mereka. Di sinilah kelompok teror masuk, menawarkan komunitas dan validasi bagi individu yang merasa terpinggirkan, frustrasi, atau sedang mencari identitas diri.
- Ideologi sebagai Perlawanan: Kelompok teroris bahkan diketahui menciptakan atau menyebarkan game dengan narasi yang memosisikan tindakan kekerasan sebagai bentuk perlawanan atau kepahlawanan. Dengan cara ini, mereka merekrut tanpa perlu memandang latar belakang agama atau spesifikasi tertentu, cukup dengan menyasar siapa pun yang haus akan pengakuan dan validasi.
Tiga Pintu Masuk Radikalisasi dalam Game
Perekrutan ini umumnya terjadi melalui tiga mekanisme utama yang harus diwaspadai orang tua:
- Imitasi Kekerasan dan Narasi Pejuang: Melalui game perang, psikologi anak dipengaruhi untuk meniru kekerasan. Narasi “pejuang” atau “pahlawan” menarik pemain yang ingin menang dan berkompetisi, menanamkan benih bahwa kekerasan adalah jalan menuju kemenangan.
- Penyisipan Simbol dan Ideologi: Pelaku menyisipkan pesan atau simbol radikal dalam komunitas game tertentu, mendorong Gen Z dan Alfa untuk “melek” terhadap ideologi pembebasan, perjuangan, bahkan anarkisme.
- Pembentukan Komunitas Eksklusif: Perekrut membentuk komunitas game yang kemudian berpindah ke ruang diskusi pribadi (grup chat atau direct message). Di sinilah terjadi proses saling memengaruhi. Mereka mendekati korban secara personal, menawarkan apresiasi atau perhatian—sebuah jebakan manis bagi anak yang kekurangan kasih sayang.
Peran Sentral Orang Tua dan Negara
Ancaman ini jauh melampaui isu terorisme; pola yang sama digunakan oleh predator seksual dan pihak lain yang ingin mengeksploitasi kerentanan anak. Oleh karena itu, langkah-langkah antisipasi harus segera dilakukan:
- Edukasi dan Keterlibatan Aktif: Orang tua harus memberikan edukasi yang jelas mengenai bahaya radikalisasi digital. Selain itu, libatkan diri dalam hobi anak. Ajak mereka bermain (mabar) untuk mengamati secara langsung apakah ada indikasi paparan psikologis. Jika kebiasaan dalam game seperti “bunuh,” “habisin,” atau “hancurkan” mulai terbawa dalam respons emosional mereka di dunia nyata, itu adalah tanda bahaya serius.
- Pengawasan Pesan Pribadi: Orang tua wajib mengawasi pesan pribadi (private chat atau direct message) anak-anak di bawah umur. Kita harus hadir dan waspada terhadap interaksi anak dengan orang tak dikenal yang mungkin memberikan perhatian berlebihan.
- Mendesak Regulasi Platform: Pemerintah dan pihak keamanan harus didorong untuk menyiapkan sistem ketahanan keluarga dan yang lebih penting, pengawasan ketat terhadap platform game online yang beroperasi di Indonesia. Sudah saatnya negara mengambil alih peran pengawasan ini demi melindungi generasi masa depan dari ancaman digital.
Kenyamanan melihat anak anteng dengan gadget tidak boleh mengalahkan kewaspadaan kita. Kita harus menyadari bahwa kamar tidur anak, tempat yang kita anggap paling aman, kini telah menjadi medan pertempuran ideologi yang baru. Kesadaran dan keterlibatan aktif orang tua adalah benteng pertahanan pertama dan utama dalam menghadapi ancaman terorisme digital ini.
