
Timur Tengah kembali dihantam gelombang ketegangan ketika Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke Suriah pada Rabu, 16 Juli 2025. Serangan ini menandai eskalasi signifikan dalam dinamika regional yang telah berubah drastis sejak jatuhnya rezim Bashar Assad pada akhir 2024.
Sasaran Strategis dan Dampak Serangan
Gedung Kementerian Pertahanan Suriah di jantung kota Damaskus menjadi target utama serangan udara Israel. Bangunan strategis ini mengalami kerusakan berat akibat hantaman bom presisi tinggi. Selain itu, kawasan di sekitar Istana Presiden turut menjadi sasaran, menunjukkan skala dan ambisi operasi militer Israel.
Serangan tidak hanya terfokus di ibu kota. Fasilitas militer di wilayah selatan Suriah, termasuk gudang penyimpanan amunisi dan kendaraan lapis baja, juga dihantam dalam operasi yang terkoordinasi ini. Pilihan target menunjukkan strategi Israel untuk melemahkan kapabilitas militer Suriah secara menyeluruh.
Korban dan Konsekuensi Kemanusiaan
Serangan di Kementerian Pertahanan Damaskus mengakibatkan setidaknya satu orang tewas dan 18 lainnya luka-luka menurut sumber resmi Suriah. Namun, angka korban yang lebih mengkhawatirkan terlihat di wilayah selatan, di mana konflik berkelanjutan telah merenggut lebih dari 350 nyawa, termasuk puluhan warga sipil dari komunitas Druze.
Tingginya korban sipil menunjukkan kompleksitas situasi di lapangan, di mana garis pemisah antara target militer dan warga sipil semakin kabur. Komunitas Druze, yang menjadi fokus perhatian Israel, justru menjadi korban dalam konflik yang diklaim untuk melindungi mereka.
Justifikasi Israel: Perlindungan Minoritas atau Agenda Geopolitik?
Israel secara resmi mengklaim bahwa operasi militer ini dilakukan untuk melindungi komunitas minoritas Druze di Suriah selatan, khususnya di wilayah Sweida. Wilayah ini telah menjadi arena bentrokan sengit antara pasukan pemerintah Suriah dan kelompok Bedouin, menempatkan komunitas Druze dalam posisi rentan.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa operasi ini merupakan “upaya menyelamatkan saudara-saudara Druze dan memberantas kelompok-kelompok bersenjata di dalam rezim”. Retorika ini mencerminkan narasi perlindungan kemanusiaan yang sering digunakan untuk melegitimasi intervensi militer.
Namun, di balik klaim kemanusiaan ini, terdapat kepentingan strategis yang lebih luas. Israel berupaya menekan ancaman milisi Suriah di perbatasan dan mencegah senjata rezim lama jatuh ke tangan pemerintahan baru Suriah. Kekhawatiran ini beralasan mengingat ketidakpastian politik yang menyelimuti Suriah pasca-Assad.
Respons Suriah dan Tuduhan Pelanggaran Hukum Internasional
Pemerintah Suriah, di bawah kepemimpinan Presiden Ahmed al-Sharaa, memberikan respons keras terhadap serangan Israel. Pemerintah baru ini menuding Israel memanfaatkan kerusuhan internal untuk menghancurkan infrastruktur sipil dan memperburuk kekacauan yang sudah ada.
Suriah menilai aksi Israel sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional” dan upaya sistematis untuk menciptakan instabilitas di kawasan. Tuduhan ini menggarisbawahi ketegangan yang meningkat antara kedua negara di tengah transisi politik yang sensitif.
Implikasi Strategis dan Geopolitik Regional
Serangan ini merupakan yang pertama ke Damaskus sejak Mei 2025 dan bagian dari eskalasi militer Israel di Suriah pasca jatuhnya rezim Assad. Analis regional memandang Israel sedang berupaya membentuk zona penyangga informal di Suriah selatan untuk mencegah ancaman militer dari pihak-pihak yang dianggap bermusuhan.
Strategi ini mencerminkan adaptasi Israel terhadap perubahan lanskap politik regional. Dengan hilangnya stabilitas rezim Assad, Israel mengambil langkah proaktif untuk mengamankan kepentingan keamanan nasionalnya, meskipun dengan risiko memperburuk situasi kemanusiaan.
Kompleksitas Konflik Regional
Serangan Israel ke Suriah pada Juli 2025 menggambarkan kompleksitas konflik Timur Tengah di era transisi. Meskipun diklaim sebagai upaya perlindungan kemanusiaan, operasi ini jelas didorong oleh kepentingan strategis yang lebih luas. Sementara Israel berupaya mengamankan perbatasannya, Suriah berjuang membangun stabilitas di tengah transisi politik yang rapuh.
Eskalasi ini menunjukkan bahwa jatuhnya rezim Assad tidak menyelesaikan masalah regional, melainkan membuka babak baru dalam dinamika konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun. Masa depan Suriah dan stabilitas regional akan sangat bergantung pada bagaimana para aktor regional dan internasional mengelola kompleksitas ini dengan bijak.
